KELUARGA IMRAN
Di kisahkan dalam Al-Qur’an yang
yang diberi nama dengan nama sebuah kelurga yaitu surat Ali Imran (keluarga
Imran). Tentunya bukan suatu kebetulan nama kelurga ini di pilih
.
Keluarga Imran
Satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang diberi nama dengan nama sebuah keluarga adalah surat Ali Imran (keluarga Imran). Tentunya bukan sebuah kebetulan nama keluarga ini dipilih menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam Al-Qur’an. Di samping untuk menekankan pentingnya pembinaan keluarga, pemilihan nama ini juga mengandung banyak pelajaran yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran.
Satu hal yang unik adalah bahwa profil Imran sendiri -yang namanya diabadikan menjadi nama surat ini- tidak pernah disinggung sama sekali. Yang banyak dibicarakan justru adalah istri Imran (imra’atu Imran) dan puterinya; Maryam. Hal ini seolah mengajarkan kita bahwa keberhasilan seorang kepala rumah tangga dalam membawa anggota keluarganya menjadi individu-individu yang saleh dan salehah tidak serta merta akan menjadikan profilnya dikenal luas dan tersohor. Boleh jadi dirinya tidak dikenal orang -kecuali hanya sekedar nama- tetapi rumah tangga yang dipimpinnya telah menjadi sebuah rumah tangga yang sukses dan teladan banyak orang. Hikmah ini juga mengingatkan kita pentingnya mensucikan niat dalam setiap amal perbuatan untuk semata-mata mengharap ridha Allah swt., bukan ingin dikenal sebagai seorang kepala tangga yang sukses, ingin dipuji dan sebagainya.
Niat sangat menentukan kualitas dan kontinuitas amal yang dilakukan. Orang yang niatnya dalam beramal hanya untuk memperoleh sesuatu -baik berupa pujian, penghargaan, materi dan sebagainya- maka amalnya akan berhenti setelah ia merasa telah memperoleh apa yang ia angankan. Berbeda dengan orang yang beramal karena mengharap ridha Allah. Ia akan senantiasa beramal tanpa kenal lelah atau putus asa karena ia tidak tahu apakah ridha Allah yang ia harapkan itu sudah ia gapai atau belum.
Dikisahkan bahwa Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Akan tetapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Maka istri Imran bernazar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah (Baitul Maqdis). Nazar itu ia ikrarkan karena ia sangat berharap agar anak yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki sehingga bisa menjadi khadim (pelayan) yang baik di Baitul Maqdis. Ternyata anak yang dilahirkannya adalah perempuan. Istri Imran tidak dapat berbuat apa-apa. Allah swt. telah menakdirkan anaknya adalah perempuan dan ia tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak mengetahui bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Karena ia yang kelak akan menjadi ibu dari seorang nabi dan rasul pilihan Allah. Setelah itu, anak perempuan -yang kemudian diberi nama Maryam- tersebut diasuh dan dididik oleh Zakaria yang juga seorang Nabi dan Rasul, serta masih terhitung kerabat dekat Imran. Kisah ini dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 35-37.
Satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang diberi nama dengan nama sebuah keluarga adalah surat Ali Imran (keluarga Imran). Tentunya bukan sebuah kebetulan nama keluarga ini dipilih menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam Al-Qur’an. Di samping untuk menekankan pentingnya pembinaan keluarga, pemilihan nama ini juga mengandung banyak pelajaran yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran.
Satu hal yang unik adalah bahwa profil Imran sendiri -yang namanya diabadikan menjadi nama surat ini- tidak pernah disinggung sama sekali. Yang banyak dibicarakan justru adalah istri Imran (imra’atu Imran) dan puterinya; Maryam. Hal ini seolah mengajarkan kita bahwa keberhasilan seorang kepala rumah tangga dalam membawa anggota keluarganya menjadi individu-individu yang saleh dan salehah tidak serta merta akan menjadikan profilnya dikenal luas dan tersohor. Boleh jadi dirinya tidak dikenal orang -kecuali hanya sekedar nama- tetapi rumah tangga yang dipimpinnya telah menjadi sebuah rumah tangga yang sukses dan teladan banyak orang. Hikmah ini juga mengingatkan kita pentingnya mensucikan niat dalam setiap amal perbuatan untuk semata-mata mengharap ridha Allah swt., bukan ingin dikenal sebagai seorang kepala tangga yang sukses, ingin dipuji dan sebagainya.
Niat sangat menentukan kualitas dan kontinuitas amal yang dilakukan. Orang yang niatnya dalam beramal hanya untuk memperoleh sesuatu -baik berupa pujian, penghargaan, materi dan sebagainya- maka amalnya akan berhenti setelah ia merasa telah memperoleh apa yang ia angankan. Berbeda dengan orang yang beramal karena mengharap ridha Allah. Ia akan senantiasa beramal tanpa kenal lelah atau putus asa karena ia tidak tahu apakah ridha Allah yang ia harapkan itu sudah ia gapai atau belum.
Dikisahkan bahwa Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Akan tetapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Maka istri Imran bernazar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah (Baitul Maqdis). Nazar itu ia ikrarkan karena ia sangat berharap agar anak yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki sehingga bisa menjadi khadim (pelayan) yang baik di Baitul Maqdis. Ternyata anak yang dilahirkannya adalah perempuan. Istri Imran tidak dapat berbuat apa-apa. Allah swt. telah menakdirkan anaknya adalah perempuan dan ia tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak mengetahui bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Karena ia yang kelak akan menjadi ibu dari seorang nabi dan rasul pilihan Allah. Setelah itu, anak perempuan -yang kemudian diberi nama Maryam- tersebut diasuh dan dididik oleh Zakaria yang juga seorang Nabi dan Rasul, serta masih terhitung kerabat dekat Imran. Kisah ini dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 35-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar